Banyak Anak Banyak Rezeki: Antara Mitos, Realitas, dan Kebijaksanaan Hidup
Pernah dengar pepatah "banyak anak banyak rezeki"? Atau mungkin sebaliknya, peribahasa Sumatera yang bilang "cung kediro, banyak cucung tambah saro"? Dua pernyataan yang sepertinya berlawanan ini sering bikin kita bingung. Mana sih yang benar?
Kemarin saya ngobrol panjang sama seseorang di posyandu. Istrinya lagi kontrol kesehatan bayi, dan kami mulai diskusi yang ternyata jadi sangat menarik tentang berapa sih jumlah anak yang ideal di zaman sekarang.
Dua Pepatah, Dua Filosofi
Mari kita mulai dari pepatah yang sering kita dengar. "Banyak anak banyak rezeki" itu sebenarnya mengandung optimisme spiritual. Banyak yang percaya setiap anak membawa rezekinya sendiri, dan kehadiran mereka jadi motivasi orang tua untuk bekerja lebih keras.
Tapi ada juga peribahasa dari Sumatera (kemungkinan dari Palembang atau Rejang Lebong) yang bilang "cung kediro, banyak cucung tambah saro". Tahu nggak artinya apa?
Ternyata "cung kediro" itu tomat ceri! 🍅
Jadi maksudnya: seperti tomat kecil yang penuh biji, begitu juga kalau punya banyak cucu atau anak - makin banyak, makin repot! Ini permainan kata yang cerdas sekaligus pesan realistis tentang beban tanggungan.
Dua pepatah ini sebenarnya nggak bertentangan kok. Yang satu memberi semangat dan harapan, yang satunya mengingatkan kita untuk tetap realistis dan bijak dalam planning.
Pandangan Islam: Seimbang dan Kontekstual
Nah, ini yang sering jadi perdebatan. Apakah Islam memperbolehkan KB?
Jawabannya: BOLEH, menurut mayoritas ulama termasuk MUI, NU, dan Muhammadiyah. KB dalam Islam itu mubah (diperbolehkan) dengan syarat-syarat tertentu:
- Ada alasan yang masuk akal (kesehatan ibu, jarak kelahiran, ekonomi)
- Atas kesepakatan suami-istri
- Bukan metode permanen (vasektomi/tubektomi tanpa darurat medis = haram)
- Bukan karena takut miskin semata, tapi boleh untuk perencanaan yang bijak
Islam juga menekankan tanggung jawab orang tua. QS. At-Tahrim (66:6) bilang kita harus menjaga keluarga dari api neraka. Artinya? Anak harus diberi nafkah, pendidikan, kasih sayang, dan didikan agama yang baik.
Realitas Lapangan yang Mengejutkan
Yang menarik dari obrolan kemarin, saya diajak membandingkan dua keluarga nyata:
Keluarga A: Belasan Anak, Penghasilan 70 Ribu Sehari
Ada keluarga tetangga di desa saya dengan anak belasan, penghasilan harian sekitar 70 ribu rupiah. Anaknya belum ada yang menikah. Yang bikin kagum istri saya setelah bertemu di posyandu? Ibunya sangat sabar. Nggak pernah keliatan ngeluh atau marah-marah.
Keluarga B: Tukang Cilok dengan Anak Belasan, Tapi Santai
Ada lagi tetangga desa yang juga punya anak belasan. Beliau bisa disebut pemuka agama di kampung. Bedanya, anak-anaknya sudah ada yang besar dan sudah nikah satu. Sekarang kehidupan sehari-harinya terlihat santai aja - cuma keliling jualan cilok.
Kenapa bisa santai? Karena anak-anak yang sudah besar itu udah pada mandiri dan kerja sendiri! Ada yang jualan bakso, ada yang buka pangkas rambut, ada yang usaha kecil-kecilan lainnya. Mereka nggak lagi jadi beban, malah bisa bantu orang tuanya.
Ini yang sering dijadikan contoh untuk "bukti" bahwa banyak anak itu akhirnya jadi penolong di masa tua. Dan memang ada benarnya. Tapi...
Keluarga C: Anak 2-3, Tapi Sering Stress
Sementara banyak keluarga modern dengan anak cuma 2-3, penghasilan jauh lebih tinggi, tapi kok malah sering stress, marah-marah, dan ngeluh terus? Ini yang bikin saya dan istri mikir.
Kenapa bisa begitu?
Jawabannya: Ekspektasi vs Realitas
- Ibu dengan anak banyak: Sudah pasrah dan ikhlas dari awal. Nggak punya ekspektasi tinggi, hidup sederhana, nggak kenal sosmed untuk comparing. Standar "cukup" nya rendah.
- Ibu dengan anak sedikit: Punya ekspektasi tinggi, sering lihat gaya hidup orang lain di sosial media, mau kasih yang "terbaik" tapi budget terbatas. Gap antara harapan dan kenyataan bikin frustasi.
Tapi hati-hati! Jangan cuma lihat hasil akhirnya. Seperti kasus bapak tukang cilok tadi - sekarang memang terlihat santai karena anak-anak sudah besar dan mandiri. Tapi kita nggak tahu gimana susahnya beliau dan istrinya waktu 20-25 tahun lalu ngurusin belasan anak kecil sekaligus dengan penghasilan pas-pasan.
Yang kita lihat sekarang adalah fase "panen" setelah perjuangan berat bertahun-tahun. Dan perlu diingat juga:
Pertanyaan Kritis:
- Apakah semua anaknya sukses? Atau hanya beberapa yang berhasil mandiri?
- Pendidikan mereka sampai mana? Kebanyakan mungkin cuma SD/SMP, kan?
- Apa potensi mereka terbatas karena pendidikan minimal?
- Berapa banyak yang "nggak keliatan" karena gagal atau masih struggle?
Ini namanya survivorship bias - kita cuma lihat yang berhasil, nggak lihat yang gagal atau masih susah.
Anak Banyak = Mandiri, Anak Sedikit = Manja?
Ini observasi yang sangat menarik. Secara natural, anak dengan banyak saudara memang cenderung lebih mandiri. Kenapa?
- Terpaksa mandiri: Orang tua nggak bisa fokus ke satu anak, jadi anak harus bisa ngurus diri sendiri
- Kakak jadi "parent kedua": Harus bantu ngurus adik, ganti popok, mandiin, masakin
- Belajar berbagi sejak kecil: Makanan, mainan, bahkan perhatian orang tua harus dibagi
- Training ground sosial: Berantem, negosiasi, kompromi dengan saudara setiap hari
Sementara anak tunggal atau anak sedikit sering lebih manja karena mendapat over-attention dari orang tua, nggak ada kompetisi, dan terbiasa semua kemauannya dituruti.
Biaya Pendidikan yang Makin Gila
Nah ini realitas yang nggak bisa dipungkiri. Biaya pendidikan sekarang memang mahal banget!
- TK-SD-SMP-SMA swasta bagus: puluhan juta per tahun
- Kuliah PTN: UKT 500 ribu - 20 juta per semester
- Kuliah kedokteran atau luar negeri: ratusan juta bahkan miliaran
Membesarkan 1 anak hingga lulus kuliah bisa ratusan juta sampai miliaran rupiah. Makanya sekarang orang lebih realistis: "Mending 2-3 anak berkualitas daripada 5-10 anak tapi nggak bisa disekolahin tinggi."
Dan ini sejalan dengan Islam juga! Islam mengajarkan untuk mendidik anak dengan baik. Nggak ada gunanya punya anak banyak tapi nggak bisa kasih pendidikan layak.
Tapi Pesantren Lebih Murah Kan?
Betul! Mondok atau pesantren bisa jadi alternatif yang lebih terjangkau:
- Pesantren tradisional: gratis atau sangat murah (cuma infaq seikhlasnya)
- Pesantren modern: 500 ribu - 3 juta per bulan (sudah termasuk makan, asrama, pendidikan)
- Bonus: pendidikan karakter & agama kuat, disiplin tinggi, mandiri
Jadi kalau punya banyak anak, strategi mondok ini memang bisa jadi solusi cerdas untuk menghemat biaya pendidikan sambil dapat pendidikan karakter yang kuat.
Dilema: Sukses Itu Seperti Apa Sih?
Ini pertanyaan paling filosofis dari obrolan kemarin. Apa sih definisi sukses?
Versi umum: Kaya raya, rumah mewah, mobil bagus, jabatan tinggi.
Versi kebahagiaan: Hidup tenang, cukup untuk kebutuhan, punya waktu dengan keluarga, sehat.
Versi Islam: Taat beribadah, rezeki halal meski pas-pasan, keluarga harmonis, anak sholeh/sholehah, bermanfaat untuk sesama.
Pelajaran Terpenting: Saling Melengkapi
Ini yang paling dalam dari diskusi saya dan istri. Kenapa harus ada yang kaya dan yang miskin?
Karena kita saling melengkapi! Ini ada di Al-Quran, QS. Az-Zukhruf (43:32):
Kalau semua orang kaya, siapa yang jadi karyawan? Siapa yang kerja di pabrik, toko, atau jadi tukang? Kalau semua orang miskin, siapa yang kasih zakat dan sedekah?
Ada yang kaya, ada yang miskin = by design Allah. Supaya saling butuh, saling membantu. Ini ekosistem sosial yang sehat!
Yang penting bukan seberapa kaya kita, tapi:
- Apakah rezeki kita halal?
- Apakah kita bersyukur?
- Apakah kita bermanfaat bagi sesama?
- Apakah keluarga kita harmonis?
Jadi, Berapa Anak yang Ideal?
Setelah diskusi panjang, kesimpulannya: Nggak ada angka mutlak yang benar untuk semua orang!
Yang penting:
- Sesuai kemampuan (finansial, fisik, mental)
- Bisa tunaikan hak anak (nafkah, pendidikan sesuai kemampuan, kasih sayang, didikan agama)
- Keluarga tetap harmonis
- Tawakal & qana'ah dengan rezeki Allah
Untuk orang desa dengan penghasilan pas-pasan:
3-5 anak mungkin realistis. Minimal SMP/SMA supaya punya skill dasar. Nggak harus kuliah kalau memang nggak mampu. Yang penting: halal, berkah, anak jadi orang baik, rajin, jujur, tangguh, taat agama.
Untuk keluarga kelas menengah:
2-3 anak dengan pendidikan sampai kuliah bisa jadi target. Fokus ke kualitas pendidikan dan pengasuhan.
Intinya: Sesuaikan dengan kemampuan masing-masing, jangan bandingkan dengan orang lain. Yang penting bukan kuantitas, tapi apakah kita bisa jadi orang tua yang bertanggung jawab.
Penutup: Qana'ah dan Tawakal
Dari semua diskusi ini, pelajaran terbesarnya adalah tentang qana'ah (merasa cukup) dan tawakal (berserah diri kepada Allah).
Kita boleh planning, boleh ikhtiar, boleh ber-KB (ini halal kok!), tapi jangan lupa:
- Rezeki dari Allah
- Anak adalah amanah dan ujian
- Sukses bukan cuma soal materi
- Yang penting: halal, berkah, bermanfaat
Mau punya anak banyak atau sedikit, yang kaya atau pas-pasan, yang penting adalah kita menjalaninya dengan penuh tanggung jawab, kesabaran, dan rasa syukur.
Semoga bermanfaat! 🤲
Komentar
Posting Komentar