Tragedi Ponpes Sidoarjo: Perspektif yang Terlupakan
Kejadian ambruknya gedung Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo pada 29 September 2025 menewaskan 67 santri. Media massa ramai memberitakan, netizen sibuk berkomentar, dan berbagai analisis bermunculan. Namun, ada satu perspektif yang jarang diangkat: pandangan dari dalam dunia pesantren itu sendiri.
Ketika Logika Bertemu Iman
Tragedi ini memunculkan perdebatan panjang di media sosial. Banyak yang menyoroti aspek keselamatan kerja, kualitas konstruksi bangunan, hingga praktik melibatkan santri dalam pekerjaan konstruksi yang dinilai berbahaya. Kritik-kritik ini datang dari sudut pandang logika keselamatan dan hak anak yang memang valid.
Namun, ada dimensi lain yang sering luput dari perhatian publik: perspektif spiritual dan kultural dunia pesantren. Bagi mereka yang hidup dan besar di lingkungan pesantren, kejadian ini tidak hanya dipandang dari kacamata teknis semata.
Konsep "Ngalap Berkah" yang Disalahpahami
Dalam tradisi pesantren, ada istilah "ngalap berkah" yang berarti mencari keberkahan. Santri yang ndalem (tinggal serumah) dengan kyai dan membantu berbagai pekerjaan rumah tangga—mulai dari berjualan, memasak, mencuci piring, hingga mengepel—melakukannya bukan semata-mata sebagai pekerjaan, melainkan sebagai bentuk pengabdian spiritual.
Seperti tertulis dalam sebuah mutiara pesantren: "Adab terhadap Kiyai bukanlah perbudakan, tetapi jalan menuju Ridho dan keberkahan."
Bagi orang luar, santri yang sibuk membantu pekerjaan rumah tangga hingga kelelahan di sekolah mungkin terlihat sebagai eksploitasi. Namun, bagi santri dan keluarganya, ini adalah investasi spiritual. Ada keyakinan bahwa keberkahan yang didapat dari pengabdian kepada kyai akan membuka pintu ilmu dan kesuksesan yang tidak terukur secara logika.
Kisah Nyata: Ketika Ketaatan Melampaui Logika
Salah satu contoh nyata datang dari kesaksian seorang guru ngaji. Dia memiliki teman sesama santri yang ndalem di rumah kyai. Temannya itu sibuk mengurus jualan, menyapu, memasak, mengepel—praktis seperti pembantu rumah tangga. Di sekolah, dia sering kecapekan dan tertidur. Saat ada setoran hafalan, dia selalu nomor satu berdiri di depan karena tidak sempat menghafal.
Logika sederhana akan berkata: santri yang rajin belajar dan tekun menghafallah yang akan sukses. Namun kenyataannya? Santri yang "tidak optimal" dalam belajar akademis itu kini menjadi kyai dengan ribuan murid. Sementara mungkin banyak santri lain yang lebih rajin belajar tidak mencapai level tersebut.
Ini bukan dongeng atau legenda. Ini kesaksian langsung dari orang yang melihat prosesnya. Dan kisah seperti ini bukan satu-dua, melainkan banyak tersebar di dunia pesantren.
Filosofi Ketaatan dalam Tradisi Pesantren
Santri diajarkan taat kepada kyai dengan cara yang kadang tampak melawan logika. Hal ini bukan tanpa sebab. Pada masa awal pendidikan, logika santri dianggap masih belum benar—seperti anak kecil yang melihat buah anggur hijau segar dan mengira sudah manis, padahal masih asam.
Kyai diibaratkan sebagai tukang kebun yang paham betul dengan tanamannya. Tujuan mengajarkan ketaatan ini adalah melatih santri untuk tidak selalu mengandalkan logika pribadi yang terbatas, melainkan percaya pada bimbingan guru spiritual mereka.
Pelajaran dari Kisah Nabi
Filosofi ini berpijak pada kisah-kisah dalam Al-Quran: Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya, Ibu Nabi Musa yang merelakan bayinya dihanyutkan ke sungai, dan Nabi Nuh yang membuat kapal tanpa tahu tujuannya. Semua itu adalah bentuk ketaatan yang melampaui logika manusia.
Sebaliknya, ada kisah Iblis yang menolak bersujud kepada Adam karena logikanya tidak menerima—dia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, sementara Adam dari tanah. Kecerdasan dan logika Iblis justru menghalangi ketaatannya.
Santri yang Meninggal: Syahid atau Korban?
Pertanyaan yang sering muncul dari perspektif luar: apakah 67 santri yang meninggal itu korban kelalaian konstruksi, atau ada makna spiritual di baliknya?
Fakta yang sering terlupakan: para santri itu meninggal saat sedang melaksanakan salat Ashar berjamaah di musala. Mereka dipanggil Allah dalam keadaan sedang beribadah, dalam keadaan sujud kepada-Nya. Bagi umat Islam, ini adalah husnul khatimah—akhir yang baik.
Para ustadz dan ulama di lingkungan pesantren dengan tegas menyatakan: santri-santri tersebut adalah syahid. Mereka meninggal saat beribadah, di tempat ibadah, tertimpa reruntuhan—yang mana ada dalam hadits tentang macam-macam syahid.
Tidak ada yang tahu tragedi itu akan terjadi. Tidak ada yang sengaja. Tukang dan arsitek juga tidak berniat membuat bangunan roboh. Mereka hanya salah perhitungan, kurang ilmu, atau kelalaian—bukan niat jahat.
• • •
Dua Perspektif yang Berbeda, Sama-Sama Valid
Perdebatan panjang tentang tragedi ini sebenarnya mencerminkan benturan dua worldview yang berbeda:
Perspektif Sekular-Rasional: Fokus pada keselamatan kerja, hak anak, standar konstruksi, dan akuntabilitas. Melibatkan anak dalam pekerjaan konstruksi adalah berbahaya dan tidak seharusnya terjadi. Ini eksploitasi yang harus dihentikan.
Perspektif Spiritual-Tradisional: Melihat dimensi keberkahan, ketaatan, dan takdir Allah. Pengabdian santri kepada kyai adalah jalan spiritual yang membuka pintu ilmu dan kesuksesan. Tragedi adalah ujian dan para santri yang meninggal adalah syahid.
Kedua perspektif ini sama-sama memiliki validitasnya masing-masing. Masalahnya, ketika orang dari satu perspektif mencoba menghakimi perspektif lainnya tanpa berusaha memahami konteksnya.
Pelajaran untuk Kita Semua
Tragedi Ponpes Al-Khoziny mengajarkan beberapa hal penting:
Pertama, pentingnya tidak terburu-buru menghakimi tanpa memahami konteks kultural dan spiritual. Apa yang terlihat sebagai eksploitasi dari luar, bisa jadi dipandang sebagai pengabdian mulia dari dalam.
Kedua, mengimani takdir Allah bukan berarti lepas tanggung jawab. Secara iman, santri yang meninggal adalah syahid. Secara ikhtiar, ke depan harus lebih hati-hati dalam pembangunan—pakai ahli yang kompeten, jangan asal menambah lantai tanpa perhitungan matang.
Ketiga, hati-hati dengan sikap "pinter tapi keblinger." Punya data dan bisa analisis itu bagus, tapi kalau tidak paham konteks dan langsung judge, justru menjadi seperti netizen yang sok tahu.
"Ilmu tanpa adab bagaikan pohon tanpa buah."
Penutup: Cukup Sekali Ini Saja
Baik dari perspektif spiritual maupun teknis, satu hal yang disepakati bersama: tragedi seperti ini tidak boleh terulang lagi. Cukup sekali ini saja.
Ke depan, pembangunan gedung pesantren—atau bangunan apapun yang menampung banyak orang—harus dilakukan dengan standar keselamatan yang ketat. Ini bukan menolak takdir, ini adalah ikhtiar yang diperintahkan agama.
Untuk 67 santri yang telah dipanggil Allah saat sedang sujud di hadapan-Nya, kita hanya bisa berdoa: semoga mereka diterima sebagai syahid, ditempatkan di tempat terbaik di sisi Allah, dan menjadi pelajaran berharga bagi yang ditinggalkan.
Dan untuk kita semua: mari belajar memahami perspektif orang lain sebelum berkomentar. Dunia ini tidak hitam-putih. Ada banyak dimensi yang tidak terlihat oleh mata, tapi sangat nyata bagi mereka yang menjalaninya.
Alfatihah untuk para santri yang telah kembali kepada-Nya. 🤲

Komentar
Posting Komentar