Membedakan Karamah Sejati dari Kesaktian Palsu: Pelajaran dari Para Wali Nusantara
Di tengah maraknya klaim-klaim kesaktian dan fenomena supranatural yang beredar di masyarakat, kemampuan untuk membedakan mana yang asli dan mana yang palsu menjadi sangat penting. Dalam tradisi Islam, khususnya di Nusantara, kita mengenal konsep karamah—kemampuan luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang saleh. Namun, tidak semua fenomena yang tampak ajaib adalah karamah. Ada yang merupakan istidraj (ujian terselubung), ada yang sihir, dan ada pula yang sekadar tipu daya manusia.
Mengenal Istilah-Istilah Penting
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami beberapa istilah kunci dalam konteks fenomena luar biasa dalam Islam:
Mukjizat (المعجزة) adalah kejadian luar biasa yang diberikan Allah kepada para Nabi dan Rasul sebagai bukti kebenaran risalah mereka. Mukjizat tidak bisa ditiru oleh siapapun dan hanya terjadi pada masa kenabian. Contohnya adalah tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi ular, kemampuan Nabi Isa menghidupkan orang mati, dan Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Karamah (الكرامة) adalah kejadian luar biasa yang dialami wali atau orang saleh sebagai anugerah dari Allah. Berbeda dengan mukjizat, karamah bukan hasil usaha pribadi dan tidak untuk dipamerkan. Karamah hanya terjadi pada orang yang benar-benar beriman dan bertakwa.
Istidraj (الاستدراج) adalah pemberian kemampuan atau kemudahan luar biasa yang justru merupakan ujian atau bahkan siksa terselubung dari Allah. Orang yang mendapat istidraj tampak sukses dan memiliki kemampuan luar biasa, namun justru semakin jauh dari ketaatan kepada Allah. Ini disebutkan dalam QS. Al-A'raf ayat 182-183 dan QS. Al-Qalam ayat 44-45.
Ma'unah (المعونة) adalah pertolongan atau kemudahan dari Allah yang bisa dialami oleh siapa saja, tidak harus wali. Bentuknya bisa berupa rezeki yang tiba-tiba datang, keselamatan dari bahaya, atau jalan keluar dari kesulitan yang tidak terduga.
Membedakan Karamah dari Istidraj
Salah satu tantangan terbesar adalah membedakan antara karamah yang asli dengan istidraj. Keduanya sama-sama menampilkan fenomena luar biasa, namun memiliki karakteristik yang sangat berbeda:
Ciri-ciri Karamah Sejati:
- Pelakunya adalah orang yang taat dan dekat dengan Allah
- Bersikap rendah hati dan tidak memamerkan kemampuannya
- Tetap istiqomah dalam ibadah dan ketaatan
- Semakin bersyukur dan takut kepada Allah
- Tidak bergantung pada benda-benda tertentu (jimat, cincin, dll)
Ciri-ciri Istidraj:
- Pelakunya justru jauh dari ketaatan kepada Allah
- Sombong dan suka memamerkan "kesaktian"
- Ibadahnya lemah atau bahkan tidak beribadah sama sekali
- Merasa hebat karena kemampuan yang dimilikinya
- Sering kali melakukan perbuatan maksiat namun selalu "lolos"
Bahaya terbesar dari istidraj adalah korbannya tidak menyadari sedang dimurkai Allah. Mereka mengira sedang diberkati, padahal justru sedang dibiarkan tersesat lebih jauh. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an, Allah memberi kelonggaran kepada orang-orang yang ingkar supaya dosa mereka bertambah banyak.
Kisah Nyata: Jawara yang Kebal Peluru
Ada sebuah kasus yang cukup terkenal dan disiarkan di televisi beberapa tahun lalu. Seorang kakek tua yang terkenal sebagai jawara atau jago silat memiliki masalah hukum terkait hutang. Ketika polisi datang untuk menangkapnya, ia melawan. Yang mengejutkan, dalam siaran yang disaksikan seluruh Indonesia, kakek tersebut ditembak berkali-kali oleh beberapa polisi namun tidak roboh.
Barulah setelah polisi mengalihkan tembakan mereka ke batu akik atau cincin yang dikenakan kakek tersebut, ia akhirnya roboh.
Kasus ini menarik untuk dianalisis. Jika kemampuannya bergantung pada benda tertentu seperti batu akik atau cincin, ini adalah indikasi kuat adanya unsur syirik atau bantuan jin. Karamah sejati dari Allah tidak membutuhkan media benda. Ketergantungan pada jimat atau benda pusaka berarti menyandarkan diri pada selain Allah.
Lebih jauh lagi, meski memiliki kemampuan luar biasa, kakek tersebut menggunakannya untuk melawan aparat hukum dan akhirnya mati dalam keadaan melawan. Ini bisa jadi contoh klasik istidraj: diberi kemampuan tetapi justru semakin jauh dari kebaikan dan berakhir dengan buruk.
Teladan Para Wali Nusantara
Syekh Kholil Bangkalan: Guru Para Ulama
KH. Muhammad Khalil bin Abdul Lathif, atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Kholil Bangkalan, adalah salah satu wali besar Nusantara yang sangat dihormati. Lahir sekitar tahun 1820-an di Bangkalan, Madura, beliau wafat pada tahun 1925 dalam usia sekitar 100 tahun lebih.
Yang membuat Syekh Kholil istimewa bukanlah cerita-cerita karamahnya, melainkan keilmuannya yang luar biasa. Beliau pernah mengajar di Masjidil Haram, Mekah, dan murid-muridnya tersebar dari Nusantara hingga Timur Tengah. Hampir semua kyai besar di Jawa memiliki sanad keilmuan yang tersambung kepada beliau, termasuk KH. Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Yang menarik dari Syekh Kholil adalah sikapnya terhadap karamah. Dalam salah satu cerita yang beredar, beliau pernah berpesan kepada muridnya yang menyaksikan karamahnya: "Jangan disebarluaskan selama aku masih hidup." Pesan ini menunjukkan kesadaran spiritual yang tinggi. Beliau paham betul bahaya riya' (pamer) dan tidak ingin orang datang kepadanya karena karamah, melainkan karena ilmu.
Mbah Dullah Salam: Wali dari Kajen
KH. Abdullah Salam, atau Mbah Dullah Salam, adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Itqon di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Beliau dikenal dengan kesalehan dan keilmuannya yang mendalam, serta memiliki banyak murid yang kemudian menjadi ulama besar.
Ada dua kisah menarik tentang Mbah Dullah Salam yang menunjukkan karakteristik karamah sejati:
Kisah Pertama: Menyeberangi Sungai
Seorang ayah bercerita tentang pengalamannya ketika masih muda. Suatu hari ia sedang bekerja di sawah dekat sungai yang sedang pasang. Air sungai penuh dan tidak ada jembatan di dekat situ—jembatan terdekat masih sangat jauh.
Dari kejauhan, ia melihat Mbah Dullah Salam bersama temannya yang juga dikenal sebagai orang saleh, sedang pulang dari kegiatan dakwah atau ngaji. Mereka berjalan melewati sawah menuju sungai yang sedang pasang tersebut.
Sang ayah terus memperhatikan dengan penasaran bagaimana mereka akan menyeberang. Namun dalam sekejap—ia hanya lengah sebentar dari pandangannya—tiba-tiba Mbah Dullah dan temannya sudah berada di seberang sungai.
Yang membuat kesaksian ini kredibel adalah konteksnya yang natural. Mbah Dullah tidak sedang melakukan demonstrasi atau pamer kesaktian. Beliau sedang dalam perjalanan dakwah, melakukan aktivitas sehari-hari. Kemungkinan besar beliau bahkan tidak menyadari sedang diamati.
Fenomena ini dalam literatur tasawuf dikenal sebagai "tayy al-ardh" (pelipatan jarak) atau "tharh"—kemampuan berpindah tempat dalam sekejap atau melintasi jarak jauh dengan sangat cepat. Ini pernah terjadi pada beberapa wali dalam sejarah Islam, seperti kisah Asif bin Barkhiya dalam Al-Qur'an yang memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam sekejap mata.
Kisah Kedua: Teguran di Tengah Pengajian
Kisah kedua bahkan lebih menakjubkan. Mbah Dullah Salam rutin mengadakan pengajian setiap seminggu sekali setelah shalat Isya. Pengajiannya selalu ramai, jamaah membludak hingga ke pelataran rumah-rumah tetangga. Karena menggunakan pengeras suara, tausiah beliau bisa terdengar hingga jauh.
Sang ayah, yang tinggal di desa tetangga dan tidak rutin mengikuti pengajian, suatu malam datang ke majelis tersebut. Karena terlambat atau karena jamaah terlalu penuh, ia berada di luar, cukup jauh dari tempat Mbah Dullah menyampaikan tausiah.
Merasa capek, sang ayah—sebut saja namanya Mas Dardi—berbaring sambil mendengarkan tausiah. Tiba-tiba, di tengah-tengah ceramahnya, Mbah Dullah berkata: "Mas Dardi, jauh-jauh datang ke pengajian kok malah tiduran."
Yang luar biasa adalah Mbah Dullah tidak mengenal Mas Dardi. Mereka beda desa, tidak pernah berkenalan, dan Mas Dardi bukan jamaah rutin. Namun beliau tahu persis nama dan kondisi Mas Dardi yang sedang berbaring di luar, jauh dari tempat beliau berada.
Teman yang duduk di dekat Mas Dardi langsung bereaksi: "Kang, ituna! Kamu disuruh jangan tiduran oleh Mbah Salam!" Ini membuktikan bahwa bukan hanya Mas Dardi yang mendengar, tetapi memang benar Mbah Dullah menyebut namanya di tengah tausiah.
Fenomena ini dalam Islam disebut "firasah" atau "kasyf"—ketajaman hati untuk mengetahui keadaan seseorang, atau penyingkapan penglihatan batin. Dalam hadits disebutkan: "Berhati-hatilah dengan firasat orang mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah."
Yang menarik dari cara Mbah Dullah menegur adalah adab dan hikmahnya. Beliau tidak marah atau mempermalukan Mas Dardi. Justru beliau mengapresiasi terlebih dahulu: "jauh-jauh datang ke pengajian," baru kemudian mengoreksi dengan lembut: "kok malah tiduran." Ini adalah cara mendidik yang sempurna—tegas namun penuh kasih sayang.
Prinsip Penting dalam Memahami Karamah
Dari berbagai kisah dan penjelasan di atas, ada beberapa prinsip penting yang perlu kita pahami:
Pertama, karamah sejati selalu tersembunyi. Orang-orang saleh tidak pernah memamerkan kemampuan luar biasa mereka. Bahkan sering kali mereka sendiri tidak menyadari atau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Karamah terjadi secara natural dalam konteks kehidupan sehari-hari mereka, terutama saat sedang beribadah atau berdakwah.
Kedua, status wali hanya Allah yang tahu. Kita manusia tidak bisa memvonis seseorang sebagai wali atau bukan. Yang bisa kita lihat hanyalah tanda-tanda lahiriah seperti ketakwaan, keilmuan, akhlak mulia, dan manfaat bagi umat. Namun status spiritual seseorang yang sebenarnya adalah urusan antara dia dan Allah.
Ketiga, fokus pada ilmu dan teladan, bukan karamah. Para wali sejati justru tidak ingin dikenal karena karamahnya. Mereka ingin diikuti karena ilmunya dan diteladani akhlaknya. Karamah hanyalah bonus dari Allah, bukan tujuan atau bukti kesalehan.
Keempat, waspadai kesaktian yang bergantung pada benda. Jika seseorang mengklaim memiliki kemampuan luar biasa yang bergantung pada jimat, cincin, batu akik, atau benda pusaka lainnya, ini patut dicurigai. Karamah sejati dari Allah tidak membutuhkan media apapun.
Kelima, lihat konteks dan akibatnya. Kemampuan luar biasa yang digunakan untuk melawan hukum, menyombongkan diri, atau mencari keuntungan duniawi kemungkinan besar adalah istidraj atau bahkan sihir, bukan karamah. Karamah sejati selalu membawa kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah.
Pelajaran untuk Kehidupan Kita
Di zaman sekarang, kita dikelilingi oleh berbagai klaim kesaktian dan fenomena supranatural. Media sosial memudahkan orang untuk memamerkan "kemampuan" mereka. Ada yang mengklaim bisa mentransfer ilmu dalam sekejap, ada yang menjual jimat untuk berbagai keperluan, ada yang mengadakan ritual-ritual aneh dengan janji-janji muluk.
Dengan memahami prinsip-prinsip di atas, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi fenomena-fenomena tersebut. Tidak perlu langsung percaya, tetapi juga tidak perlu menolak mentah-mentah. Yang penting adalah sikap kritis yang didasari pengetahuan yang benar tentang konsep karamah, istidraj, dan fenomena spiritual lainnya dalam Islam.
"Semakin tersembunyi karamah seseorang, semakin besar kemungkinan itu asli. Sebaliknya, semakin dipamerkan, semakin patut dicurigai."
Yang terpenting dari semua ini adalah fokus kita pada hubungan dengan Allah. Karamah bukanlah tujuan dalam beragama. Tujuan kita adalah mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ketakwaan, memperbanyak ilmu yang bermanfaat, dan beramal saleh. Jika Allah berkehendak memberikan karamah, itu adalah bonus. Jika tidak, kita tetap bersyukur karena yang terpenting adalah husnul khatimah—akhir yang baik.
Kisah-kisah para wali Nusantara seperti Syekh Kholil Bangkalan dan Mbah Dullah Salam mengajarkan kita bahwa kebesaran sejati bukan terletak pada kemampuan luar biasa, melainkan pada kedalaman ilmu, keluhuran akhlak, dan keikhlasan dalam mengabdi kepada Allah dan berdakwah untuk kebaikan umat. Itulah teladan yang seharusnya kita ikuti, bukan sekadar terpesona pada cerita-cerita karamah mereka.
Semoga artikel ini bermanfaat dalam memberikan pemahaman yang lebih jernih tentang fenomena karamah dan membantu kita untuk tidak mudah tertipu oleh klaim-klaim kesaktian palsu yang beredar di masyarakat.

Komentar
Posting Komentar